Di Kota Buton.
GUNUNG SAMBOKA-MBOKA DI KALEDUPA
(Gununa Samboka-mboka I Kaedupa)
Pada zaman purbakala ada sebuah kampung yang terletak di atas sebuah bukit yang tertinggi di Kaledupa. Dalam kampung tersebut bermukimlah seorang ibu yang mempunyai anak dua orang dengan nama Wa Konduru bagi anak yang bungsu. Ia disebut Wa Konduru, karena anak tersebut lahir di saat ibunya memetik hasil kebunnya konduru yang banyak. Pekerjaan ibu itu hanya bertani.
Suatu waktu ketika ibunya hendak ke kebun lagi dipesankannya anaknya yang tua, katanya: ”nak, kalau ibu sudah pergi, maka untuk sayur kita sebentar masak sajalah konduru itu.” Dengan tidak bertanya panjang lebar, anak itu mengiakan perintah ibunya karena terburu-burunya ke kebun, dengan tak ada pula penjelasan kepada anaknya, terus ia berangkat.
Sepeninggal ibunya, anak itu lalu menangis kesedihan, memikirkan pendirian ibunya yang demikian. Mengapa sampai hati ia menyuruh saya memasak adik saya yang kucintai ini.” Sambil menggosok air matanya, ia memaksakan diri pergi menggendong adiknya yang sedang tidur. Sambil menggendong adiknya, ia menangis tersedu-sedu mengingat nasib adiknya yang sangat dicintainya itu. Tetapi karena takut kepada ibunya, maka terpaksa ia melaksanakan perintah ibunya.
Dengan air mata yang bercucuran diambilnya parang tajam lalu dipotong-potongnya adiknya itu. Kemudian dimasak segera jangan sampai belum selesai memasak ibunya sudah kembali, tentu ia dimarahi. Setelah sudah masak, ia duduk di dapur lalu menangis tersedu-sedu, mengenang adiknya yang sudah mati karena sengaja dibunuh dan dimasak, sesuai perintah ibunya.
Tiba ibunya kembali dari kebun terhuyung karena payah dan merasa lapar sekali. Sampai di rumah ia mandi dan bertanya kepada anaknya: ’’Bangunkalah dahulu adikmu supaya kuberi teta, sesudah itu baru siapkan untuk kita makan. Sambil menyapu air matanya ia menjawab kepada ibunya. Adik saya sudah mati dimasak, sesuai perintah ibu tadi. Dengan tidak sadar ibunya lalu pingsan memikirkan kebodohan anaknya itu. Disuruh masak buah konduru untuk saya, ia memasak adiknya nama Wa Konduru. Ketika sadar dari pingsannya itu ia bangkit memburu anaknya itu dengan parang. Karena takutnya, anaknya itu lari sekuat-kuatnya, sehingga ibunya ia tinggalkan jauh sekali di belakang.
Anak itu tiba pada sebuah barisan batu besar: ’’kalau perbuatan ini kubuat dengan sengaja maka tindislah aku sampai badanku hancur. Tetapi kalau aku tidak sengaja, hanya semata-mata karena taat atas perintah ibuku terbukalah engkau batu kemudian tutuplah aku dalam badanmu”.
Sambil menangis anak itu menyanyi dengan kesedihan seakan-akan meminta kerelaan batu itu untuk terbuka. Demikianlah nyanyian anak itu:
”watu samboka-mboka, leka aku galigu aku; artinya hai batu terbukalah, supaya aku dapat masuk dan tutuplah aku.” Dengan kodrat Allah, tiba-tiba batu itu terbuka lalu masuklah anak itu ke dalam batu. Karena terburu-buru masuk, jangan sampai dijumpai oleh ibunya, ia tidak sadar bahwa ujung rambutnya belum termasuk dalam batu itu.
Ibunya yang memburu tadi, terus mengikuti jejaknya sampai tiba di muka batu tempatnya masuk bersembunyi itu. Tatkala tiba di muka batu itu didengarnya suara orang menangis dalam batu itu sambil ia memperhatikannya rambut yang terkulai di luar batu itu.
Ketika itu ibunya sadar, dan ia yakin bahwa anaknya sudah ada dalam batu itu. Dengan penyesalan yang tak berkepuputan ibu anak itu menangis karena tadinya ia hanya mengalami kematian anak satu orang saja, tetapi kini kedua anaknya hilang tak ada bekas. Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tiada berguna.
Demikianlah ceriteranya, sehingga bukit itu disebutkan ”watu Samboka-mboka”, sampai sekarang, batu itu masih ada dengan akar-akar yang merupakan rambut terkulai.
No comments:
Post a Comment