CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA
Di Kota Buton.
Asal-Mula Gunung Sabampolulu dengan Nepa-nepa
(Kadangiana Gununa Sabampolulu Te Gununa Nepa-Nepa)
CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA
Di Kota Buton.
Peristiwa kejadian Gunung Sabampolulu dan Gunung Nepa-Nepa.
Pada zaman dahulu kala Kabaena dan Poleang saudara kandung. Begitu pula pulau Muna dan pulau Buton itu bersaudara kandung. Pada suatu waktu Sangia Nepa-Nepa di pulau Muna ingin untuk menarik Kabaena tunduk di bawah perintahnya. Hal ini tidak disetujui Sangia di Poleang.
Untuk menguatkan ketidak setuju itu maka dikirimlah utusan kepada Sangia Nepa-Nepa sambil membawa suatu bingkisan yang berisi rotan besar sejengkal yang telah disimpulkan rapat-rapat sehingga jarum itu tidak bisa lalu dalam simpulan itu disertai pesanan yang berbunyi: Konon pesanan itu berbunyi sebagai berikut: ’’Apabila simpul rotan itu dapat dibuka, maka dengan ikhlas ia akan menyerahkan Kabaena tunduk di bawah keperintahannya.” Sebagai jawaban dari permintaan itu, maka Sangia Nepa-Nepa mengirim pula bingkisan yang berisi tujuh ekor anak ayam yang baru saja ditetas oleh induknya dengan momohon jawaban: ’’tunjukkanlah mana jantan dan mana betina.”
Melihat itu maka Sangia Poleang bertambah marah, lalu mengundang mendaki sebuah bukit. Tiba di situ, ia memotong sebatang pohon kayu yang beberapa pemeluk besarnya dengan sekali potong, lalu pohon itu rebah. Kemudian disuruhnya utusan kembali.
Mendengar berita itu, Sangia Nepa-Nepa mengutus lagi utusan baru, meminta agar Sangia Poleang dapat mengirimkan tali besar yang dipintal dari abu dapur. Ketika menerima pesanan itu maka Sangia Poleang bertambah-tambah marah dan mengambil satu kesimpulan, bahwa lebih baik aku kirim saja peluru meriam, supaya dia tahu bahwa aku tidak ikhlas menyerahkan saudara kandungku tunduk di bawah keperintahannya.
Disiapkannyalah meriam dengan peluru lalu dipesankannya kepada Sabampolulu. Hai saudaraku: ’’tundukanlah sedikit kepalamu agar peluru meriamku ini dapat lalu, untuk mengancam Sangia Nepa-Nepa.” Ketika diletuskannya Sangia Poleang, saudaranya Sabampolulu seakan-akan memperlihatkan ketangkasannya dengan berdiri lurus dan tegak saja, sedang saudaranya yang sudah pada menundukan kepala. Akibatnya Sabampolulu terkikis kepalanya terbelah dua. Peluru Sangia Poleang terbang dan jatuh di Bombonawulu, bagaikan gempa yang menggoncang bumi.
Sangia Nepa-Nepa dalam keadaan bimbang lalu meminta bantuan dari saudaranya Siontapina. Mendengar itu Sangia Siontapina marah, lalu membalas dendam kepada Sangia Poleang sebagai membantu saudaranya Sangia Nepa-Nepa. Di isinya pula meriam untuk ditembakkan kepada Sangia Poleang. Dahulu dari pada itu Siontapina berseru kepada saudaranya Sangia Nepa-Nepa: ”Hai saudaraku Sangia Nepa-Nepa, tundukkan kepalamu sedikit agar peluru meriamku ini dapat lalu tepat pada sasarannya.” Jawab Sangia Nepa-Nepa: ”tak usah aku tundukkan kepalaku supaya Sangia Poleang tersebut tau, bahwa aku adalah seorang laki-laki pemberani.”
Sangia Siontapina berkata pula: ”biar sedikit tundukan kepalamu, sebab kalau tidak, maka kepalamu akan terkikis dan aku tidak akan memberi air minum padamu. Karena tidak mau tunduk, maka Sangia Siontapina terpaksa melepaskan peluru meriamnya sehingga terkikis kepala Sangia Nepa-Nepa. Peluru meriam itu langsung terbang dan melalui pula Sabampolulu sehingga bertambah besarlah belahan kepala Sabampolulu.
Sabampolulu dalam keadaan payah karena luka parah, mengakibatkan putera-puteranya lari meninggalkan orang tuanya. Salah satu putera-putera Sabampolulu bemama Sampala-kambula lari dengan sumpah-sumpah mengatakan: “apa saja yang kuketemukan akan kudorong tiada ampun sampai ke tempat yang kutujui ke pantai Barat Kabaena”. Pohon-pohon kayu, binatang- binatang, batu-batu, manusiapun dan apa diketemukan didorong, didesak sampai semua pada bergelimpangan mati, terguling- guling karena dilanggar Sampakalambula yang berlari bagaikan guntur.
Sebaliknya putera-puteranya yang lain mereka ke luar dari kediamannya dengan tenang, satu menuju ke Utara Kabaena namanya La Napa dan yang satu menuju ke pantai Timur Kabaena namanya Lampaku.
Demikianlah hikayat kejadiannya gunung Sabampolulu sampai gunung itu terbelah dua pada puncaknya karena dilanggar peluru meriam dari Sangia Poleang. Gunung Nepa-Nepa di pulau Muna pada puncaknya rata karena terkikis oleh peluru meriam Siontapina, dan di situ tidak ada air.
Sebaliknya gunung Sabampolulu pada belahan puncaknya mengalir mata air membentuk sungai tiga cabang itu; sungai Lakambula yang mengalir ke pantai Kobaena. Sungai ini setiap tahun paling hebat banjimya dan selalu mengakibatkan korban manusia, korban binatang ternak dan tanaman dan membuat erosi yang merugikan para petani. Sungai La Napo mengalir menuju pantai Utara Kobaena dan walaupun setiap tahun juga banjir, tetapi korban boleh dikatakan tidak ada, dan banjir La Napa jauh berbeda kurang derasnya dengan Lakampula.
Sungai ketiga Lampaku yang mengalir menuju ke pantai Timur Kobaena, keadaannya sama dengan sungai La Napo. Di Gunung Nepa-Nepa di kampung Bombonawulu kota terdapat sebuah batu yang menjadi pujaan masyarakat di tempat itu setiap tahun, dan menurut masyarakat di situ bahwa batu itu menurut ceritera adalah peluru meriam. Sekarang tradisi itu sudah dihilangkan, dan batu tersebut masih ada.
No comments:
Post a Comment