Di Kota Kolaka.
Asal mula penciptaan manusia dan Alam.
(Tapuasano o Wuta).
Pada suatu waktu sangiandonginapo teringat kepada ”Anawai Ndolelenga” wanita cantik jelita, kemudian ia pergi melamarnya, lamaran tersebut diterimanya, selanjutnya mereka kawin. Dalam pergaulan tersebut mereka sebagai suami isteri. Pada suatu waktu dilahirkanlah ’’Tapuasano Wuta.”
Sesudah ’’Tapuasano Wuta” dilahirkan oleh orang tuanya pergi tinggal di dasar laut. Tiba di dasar laut ibunya mengidam. dihamilkan anaknya ”Kado Osi” namanya. Pada waktu mereka pindah tinggal di atas angin, perutnya sudah besar, tiba di sana mereka disambut dengan kilat dan pada kesempatan tersebut mereka naik langsung dikayangan, setibanya di kayangan sang ibu melahirkan. Sementara dia sedang pergi mengintai di kaya¬ngan, Tapuasano Wuta pergi melihat sebuah rumah besar yang tidak ada bandingannya, lalu dijatuhkannya sebentuk cincin hikmat. Di sinilah Anawai Ndolelenga tinggal hingga bersalin. Ketika bayi itu sedang merangkak ibunya meninggal. Tinggallah Sangiandonginapo selama 7 malam isterinya Anawai Ndolelenga meninggal dunia suaminya Sangiandonginapo, tidak tidur dan tidak makan, tetapi ia langsung berangkat dan menggendong anaknya, mula-mula mereka berjalan masih kenal jalanan, lama kelamaan mereka jalan yang bukan jalanan manusia.
Sementara mereka jalan tibalah mereka pada padang lalang, mereka lalu memandang nampaklah rumah baru di tengah lalang, kubur lama dan kubur baru, seraya berkata. Kalau benar kau anak Sangia (dewata) berhentilah janganlah menangis, nanti magrib sudah agak gelap kuantarkan kepada mamamu, ketika itu berhentilah anak itu tangisannya.
Pada waktu mereka sedang duduk di tengah padang lalang, datanglah setan-setan mensiarahi dan menyulingkannya, akhirnya dia teringat sulingnya kuningan yang disisipkan Sangiandonginapo pada kafannya pada waktu dikafani dulu, hendak dikuburkan. Terus diambilnya dan langsung dimakamkannya ketika itu datanglah Sangia Ndonginapo duduk sudah memangku anaknya dibawah tangga. Sementara memainkan alat musiknya itu Sangia Ndolelenga berseru, katanya ”kini sayalah sedang bersenang-senang, bergaya seperti gadis, sedang anakku di belakang menelan air liurnya.” Sahut Sangia Ndonginapo benar sekali sudah 7 malam saya berdiri menggendongnya tidak tidur, tidak makan dan tidak makan sirih, sekarang mesti kau terima/ambil anakmu, jawab Anawai Ndolelenga (setannya) katanya. Sebenarnya bukan pada tempatnya manusia hidup akan diterima oleh orang yang sudah meninggal (setan), tetapi karena saya diberikan, terpaksa akan kuterima anakmu. Mendengar perkataan tersebut Sangia Ndonginapo berkata pula, katanya, Kalau anak ini kau mau terima, mari kita pulang dahulu di rumahku, ketika itu pulanglah mereka bersama-sama di rumah. Dengan demikian antara Sangia Ndonginapo yang masih hidup dengan Anawai Ndolelenga yang sudah mati., kawin kembali. Tiba-tiba Anawai Ndolelenga sadar lalu berkata: ’’jagalah anak itu, saya hendak pergi mengambil kayu. Sahut Sangia Ndonginapo, bagaimana caranya kau pikul kayumu, punggungmu berlobang. Katanya, nanti saya junjung, lagi pula nanti saya bermohon kepada dewata agar kayu itu dapat kubawa ke rumah. Sesudah berkata ia pergi dan sampai pada sebatang kayu olimbute lalu saya ini adalah anak Dewata asal kayangan, maka kalau kayu ini tumbang sudah terpotong-potong dan diikat-ikat. Setibanya kembali di rumah, Sangia Ndonginapo sedang memangku anaknya yang sedang menangis, seraya berkata omeo bertahi mata, ’’Sangia Ndonginapo mari dulu duduk saya akan lompati kau. Sangia Ndonginapo menjawab Es saya lemparkan kau itu, kotormu seperti itu baru mau lompati saya. Berkatalah ia pula, luruskan saja satu tanganmu.
Demikian Sangia Ndonginapo meluruskan tangannya dilompati sambil berbunyi seperti kucing, ”meo” sambil berkata tinggal 7 malam kepalamu jatuhkan dari dulu kuberitahukan memang padamu: bahwa bukan tempatnya orang hidup kawin dengan orang meninggal (setan). Kini yang penting kita pikirkan lagi bagaimana caranya untuk kelanjutan hidupnya anak kita, kata Anawai Ndolelenga. Kemudian Sanghia Ndonginapo berpikir, kita hendak buatkan rumah di gunung-gunung aka runtuk. Akhimya mereka masukkan di dalam guci kemudian mereka masukkan 7 tange-tange nabi masuk 7 tange-tange nabi mentah itulah yang digantung dukun dalam bentuk anyaman dan dijahit agar apabila ia besar sudah dilihatnya contoh sedemikian rupa.
Pergilah gantung di situ. Sampai malam yang ketujuh yaitu waktu yang telah ditentukan meledaklah puncak gunung (dunia) timbul di guci terapung-apunglah guci itu. Ketika itu orang di atas kayangan yakni Tapuasano Wuta, tergerak hatinya untuk pulang di dunia. Sementara itu ia datang memandang/melihat ke bawah yaitu ke Dunia, apa hendak dikata, negeri sudah tenggelam, lalu ia hanya datang duduk-duduk di hulu Bone. Sementara ia duduk-duduk di hulu Bone, seraya berkata di mana kasihan penduduknya/penghuninya, oh katanya, pasti sudah jatuh di dunia. Dalam pandangannya, kelihatannya guci sedang terputar balik, mereka berkata, Coba berpantun, syairnya berbunyi: Ee lipu ridoki, doki teEni, Ee tabea lahuene-keno dongga, eE te’embeto nola mende Eningge mbe’lano rupoikona apua oi limasano palim baikona bara ndoasoano ikeniro keno dunggu pinotulo kaenggu keno donga hapoto keno la sahanoto.” yang maksudnya kira-kira demikian, He kampung negeriku berkatalah apakah kau ada di cakrawala, beritahukanlah saya, supaya diantarkan angin kepada, oh dewata, munculkanlah kembali di tempat ini, andaikata ia masih berada di sini.
Dalam pada itu angin menerbangkan dia kembali ke tempat, akhimya semakin mendekat padanya hingga berada duduk di hulu Bone terapung di laut. Oh timbullah rambutnya satu siku, sudah menjelang gadis. Sungguh senangnya ia berkata: Kini saya telah mendapatkan Anawai Nibua (gadis dibuang) bakal isteriku. Katanya, sengaja saya panggil, ingin saya bicara kepadamu, mengapa engkau ada di dalam guci terapung di laut, kenapa begini, jangan keluarkan aku, nanti jatuh di laut. Tidak mengapa aku ini tidak jatuh di laut. Pada saat mereka tinggal bersama, mereka munculkan ingatan akan tujuan mereka. Ketika itu juga Tapuasano Wuta menanyai Anawai Nibua, katanya, bagaimanakah sebenarnya kau, siapa ibumu, siapa ayahnya sehingga kau jadi begitu itu, terapung di laut di dalam guci; jawab Anawai Nibua: ”Ayahku Sanghia Ndonginapo, sedang ibuku Anawai Ndolelenga. Kemudian ibuku meninggal, tetapi tetap mereka bergaul sebagai suami isteri, akhimya saya dimasukkan di dalam guci hingga terapung di laut. Mendengar perkataan Anawai tersebut Tapuasano Wuta berpikir, kemungkinannya adik saya katanya dalam hatinya, sebab waktu pergi tinggal di dasar laut itu saya mengidam waktu saya pindah di cakrawala hamillah ibuku dan saya di kayangan ibu bersalin sekaligus meninggalnya. Kemudian Anawai Nibua berkata, kini saya mau bertanya pula; katanya: Kado Osi, siapa gerangan orang tuamu sehingga sampai kau berada di hulu Bone 2 tahun. Tapuasano Wuta menjawab, katanya: Ayahku ialah Sanghia Ndonginapo dan ibuku ialah Anawai Ndolelenga, waktu itu masih kecil kami pergi tinggal di dasar laut sesudah itu pindah di cakrawala dan waktu meradangnya kilat saya berada di kayangan. Sahutannya pula Anawai Nibua. Katanya apa pusakamu Tapuasano Wuta ialah uluno posolo di langit dengan mutiara seumur ayahnya Sanghia Ndonginapo. Sedang Anawai Ndolelenga di sanalah ombu ro posolo. Tapuasano Wuta bertanya pula, kalau demikian, apa kesaktianmu di guci. Anawai menjawab, yakni tange-tangero nabi tujuh yang masak saya sudah makan dan tujuh yang mentah masih ada dalam bentuk anyam-anyaman, dijahit-jahit dan omburo posolo. Anawai bertanya apa saja kesaktianmu sehingga kau bisa terapung di laut, Jawab Tapuasano Wuta. ”tidak ada,” Cuma satu kesaktianku yakni disarungi dengan mutiara seumur ayah, Ulumbosolo, katanya. Segera mereka ambil dan menutupnya dengan niat bahwa kalau Sanghia Ndonginapo yang membuat posolo ini, kalau benar dia yang memperanakan kau, hai kodo osi kalau saya tutup posolo tersebut akan pas tertutup, tetapi kalau kami tidak seayah maka tidak pas dan tidak bisa tertutup. Sesudah berniat dia menutupnya pas tertutup oleh karena kebenarannya mereka seayah, lalu dipangkunya adiknya dan digendongnya sambil menangis ia berkata: ”Waktu saya tiba di dasar laut engkau dingidamkan ibu, waktu saya di cakrawala, engkau dihamilkan ibu dan ketika saya di kayangan engkau dilahirkan ibu dan dalam saat itu pula Tapuasano Wuta langsung minta/bermohon kepada Tuhan/dewata semoga diberikan tanah.
Read More :
No comments:
Post a Comment