Cerita Rakyat Kolaka : Asal mula penciptaan manusia dan Alam (Part 2)

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kolaka.

Asal mula penciptaan manusia dan Alam.
(Tapuasano o Wuta)(Part 2)


Tidak ada lain pekerjaan Tapuasano Wuta kecuali memangku adiknya dan duduk-duduk di kepala ndobone dan minta dengan syair sebagai berikut: Ee niko ridoki, hae doki sangia tabea lahuene keu la, Ee mombetuhi dandasa nola nipu’u lahuene, keu la membelindu, mombe iwo-iwoi teboto, to’oto no tewali manusia kulando mendunggu aku pongoni-ngoni dumunggu’iowuta pongonino alamu ku’onggoto o’o paho’i inaku motuo ku’ onggoki paho’i kakanggu motu’o ku’ onggoki Sangia kakanggu lahuene. Yang maksudnya kira-kira demikian: di sana di tempat yang suci, wahai dewata di atas kayangan yang maha mengetahui segala sesuatunya isi alam semesta, kalau dewata sedang menghancurkan diri seperti air, menjadi bermohon diri meminta ampun atas nama segala isi alam semesta, akan telah insafi dan sadari bahwa yang Maha Kuasa dari semua yang kuasa adalah dewata/Sanghia di kayangan.


Aku tidak berdosa atas perjalananku aku sudah dapat cucu kita dari air, menjadilah manusia, dan kepanasan. Keluarlah dewata berangin-angin di tengah rumah sedang duduk-duduk di tengah rumah ia melihat ke bawah (ke dunia) dilihatnya Tapuasano Wuta sedang bermohon dan memangku adiknya duduk di hulu Bone, di mana mereka berjumpa pertama kalinya ia bersyair sebagai berikut: He lipu doki ho doki sang ia tabea lahuene ha rongo’i biri podedeai ku’anggo tumuha’i ko owuta umuluiko’o nola dumandi iko’o no ponggoningoni ko Tapuasano Wuta langgaino wonua, no’onggoto pohoko wuta motu’ onoki pohoko hakono motu ’o pu’unoki ie sangia lahano ano konoiki. Yang kira-kira maksudnya sebagai berikut:



He Negeri tumpah darahku, oh dewata di kayangan, pasang telingamu, dengarkan baik-baik, saya mau turunkan/jatuhkan tanah kepadamu sebagai perjanjiannya padamu waktu bermohon Tapuasano Wuta (penguasa negeri) ia hendak tanam yang tua sekali tanam kakaknya tertua, tetapi Sanghia di kayangan supaya dijunjung tinggi. Tanah itu jatuh tepat di tapak tangannya, sehingga pekerjaannya hanya melihat tanah tersebut lama-kelamaan dia lihat seperti rumin, lama-lama seperti kelip, kemudian seperti rupiah, seperti kapar dan loyang terus diambilnya dan diletakkannya di tanah. Setelah diletakkannya di atas laut, tanah tersebut berkembang melebar seluas kebun. Kemudian diturunkan pula adiknya sehingga jatuh tersangkut duduk-duduk di kepala Bone kemudian pindah di tanah sudah bungku diturunkan pula kepadanya kayu, semuanya kayu baik sebagai tanda seperti, kayu uren, umera, olimbute, koleuhu untuk tempat berlindungnya mereka sesudah itu mereka diberikan ayam, babi kemudian ia bertanya mana ayam, mana babi pada ketika itulah tanah berkembang, meluas, sehingga tidak diketahui batasnya. Kemudian dari pada itu baru mereka diberikan rumah dari kaca seluas padang lalang lagi pula sudah tersedia serumpun pisang yang sudah berbuah. Bila mereka potong mereka masak lalu mereka pergi di rumah Tapuasano Wuta tidak tahan lagi memotong kini kodo osi saja yang pergi memotong dan datang masakan mereka. Pekerjaan Tapuasano Wuta hanya berselimut dan menengok merekanya. Bagaimana pisang ini tidak adalah akalmu Tapuasano Wuta. Bukan Sangia yang akan datang memperbaiki, sedang bukan dia yang makan jadi apa yang akan kami perbuat mereka Sanghia karena besi kami tidak ada bangunlah, cuci muka dan kita gulung tikar sudah ada parang sesudah makan Tapuasano Wuta baring berselimut kembali sedangkan kayu tumbuh menjadi besar seperti beringin kemudian Sangia melihat ke bawah dilihatnya pula Tapuasano Wuta sedang berselimut lalu diberitahukan pula sekarang sudah ada parangmu tetapi tidak ada akalmu.


Tapuasano Wuta berkata apa akalmu nenekku Sanghia, saya mau apakah parang ini kecuali kita cubitkan kayu di sana yang berdiri tinggi besar hampir seperti beringin. Ujar Sanghia namun begitu bangunlah dan gulung tikarmu. Demikian Tapuasano Wuta bangun cuci muka dan menggulung tikamya sudah kapak yang akan menebas dan menumbangkan kayu welande. Lalu berkata: besok pagi masakanlah kita makan saya akan mulai memeras. Sesudah makan pisang ia bergegas dan mulai dari muka rumahnya mereka menanam hingga sepuluh kaki gunung jauhnya mereka berhenti melihat/memandang baru pertengahannya.


Kemudian mereka bersyair: Ei liku ridoki hodoki sangia tabea lahuene ho ho dahunggu inggo’o pnakanggu keu langgi mbetuhi tutumbo” O maria isala la’i nohumopadahunggu mepomiu pinakanggu. Ee ku’onggoto paho’i inakuto masuake kinando. O paendo asono kina mbo’ese’ano pae arapuno sae-saeno wuta tatarimano wonua. Nowawe’ ito ona sarapuno, yang maksudnya syair tersebut sebagai berikut: He jalanan sahabatku, nenekku Sangia di kayangan, dipanggilnya anjing piaranya kalau kau ada di dekatkan oh mariam nama anjingnya bergeraklah anjing kesayanganku. He saya mau tanam, sayalah yang mengetahui makanan kita, oh padi persahabatan nasi menghidupkan atau padi yang akan ditanam setibanya di negeri yang ditujunya. Dalam pada itu tunangannya sudah dibawa serta. Sampailah ia memeras manusia penjaga tunangan bunyi-bunyian tanah sepuluh gunung, sepuluh lembah, pekerjaannya mengosak tengah malam. Dijemurnya satu bulan kemudian dibakarnya hangus sekali sementara tidur Tapuasano Wuta, ia bermimpi diberitahukan Sanghia, konon katanya kepada Tapuasano Wuta, hangus tanah bekal kebunmu mengapa kau tidur-tidur, apa yang saya pikirkan Sanghia, jangankan padi tanaman lainpun kita tidak lihat yang akan ditanam, hangus tanah perkebunanmu katanya tidak pergilah di sana kamu sudah akan menugal sementara ia nemberitahukan adiknya Kodo osi supaya pagi-pagi masakan cita, saya mau pergi melihat kebun yang saya sudah dibakar sesudah makan pisang diambilnya parangnya lalu pergi tiba di sana sudah ada meniti 7 ekor ayam, sudah ada 2 bungkus beni padi, satu bungkus padi sanggula, satu bungkus lainnya padi biru (merah-biru), konon katanya inikah yang akan mengisi kebun sepuluh gunung, sepuluh lembah luasnya.

Seekor ayam yang tertua berkata: wahai Tapuasano Wuta kita sudah akan menugal, tetapi duduk sajalah di batang kayu lihat-lihat kami. Sesudah itu ia duduk dan melihat mereka ambil padi sanggula dan tanam satu-satu pohon sehingga tiba di batas tanah, itu mereka ambil padi kandula ore, padi biru, sedangkan yang mereka cari padi ule-ule sambil tanya menanya agar menanam pula padi tersebut sebagai anak padi. Sementara mereka menugal satu-satu pohon seluas tanah sebanyak beni, masih ada pula beni, akan tetapi karena tanah beni pun habislah ayam tersebut. Memberitahukan Tapuasano Wuta, kono katanya Tapuasano Wuta selama satu Jum’at kau datang kami sudah akan pergi.

Masih duduk-duduk Tapuasano Wuta mereka datang, masih menengadah melihat mereka, mereka masuk mengambil padi. Sungguh senangnya melihat padi. Setibanya ia coba-coba menguliti di padi ule-ule, ia keheranan disebabkan padi tersebut andaikata bergerak persis ulat, oh lalu ia singgah. Kalau melihat katanya Tapuasano Wuta, saya takut terhadap ulat. Mereka tidak tanamkan padi ule-ule. Akan tetapi kau akan mendengar yang bernama Kodoosi, kalau Kodoosi di seberang laut dan akan mendengar nama Tapuasano Wuta di seberang laut. Pada saat itu ia memeras dari tempat tersebut sampai di sebelah rumah tempat tinggalnya agar supaya jangan disentuh padi ule. Tiba di sana di rumah padi demikian pula halnya terus memaras sampai puas. kakaknya berkata katanya, Kodo osi engkau takutkan ulat, karena kau tidak tanamkan padi ule-ule. Tinggal saja aku pergi, kau akan mendengar Kodoosi lain kalau dari seberang laut, demikian pula Tapuasano Wuta yang lain kalau dari seberang laut.

Pada suatu hari ia tiba di dasar laut. Nenek Sanghia tiba di sana disertai hujan gerimis pergi di padang lalang seraya berkata "konon katanya ada hai anak-anak jangan ribut. Kalau tidak hujan dari muara laut, maka jatuh dari dasar laut. Sementara mereka melihatnya di muara laut dari hulu negeri/barat datanglah ke mari perempuan berjalan di lalang, dapat didudukkan telur di atas punggungnya dan mereka menegurnya dengan menanyakan dari mana dia konon katanya saya dari negeriku.

Demikian mereka mendengarkan keterangannya bukan dari muara laut, bukan dari dasar laut muncul datang ke mari seorang perempuan yang sedang berjalan di padang lalang dari dalam hutan namun didudukkan telur atas punggungnya tidak akan jatuh. Pada saat itu pula nenek Sanghia melihat dan berkata, andaikata masih hidup Anawai Ndolelenga, namun demikian biar anaknya supaya dipelihara. Perempuan tersebut tadi berjalan terus.
Penciptaan Alam dan Manusia
Penciptaan Alam dan Manusia

No comments:

Post a Comment