Cerita Rakyat Muna : Asal-usul Buaya

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Muna.

Cerita Asal-usul buaya
(TULA-TULANO KANANDONO O BUEA)

Pada zaman dahulu kala ada di Muna seorang perempuan yang bernama wade Kokanda. Perempuan ini adalah gadis tua, karena umurnya sudah lanjut dan belum kawin karena luka pada kedua kakinya sejak kecil yang tidak pernah sembuh. Luka semacam ini dinamai luka sepanjang masa. Wade Kokanda ini tinggal seorang diri pada sebuah rumah, terpisah dari seluruh keluarga, karena semua keluarga pada benci padanya karena lukanya yang tidak pernah sembuh dan busuk itu. Rumahnya adalah satu pondok kecil dipinggir sungai wasolangka. Diantara orang-orang kampung wasolangka pun tidak ada yang mau pergi menengoknya karena busuknya lukanya itu, padahal wade Kokanda ini adalah seorang perempuan yang cantik, tetapi apa boleh buat karena lukanya yang busuk itu. Jadi keluarganya hanya bawakan saja makanan dan air dipagi hari, siang dan malam. Wade Kokanda adalah juga penyanyi, jadi kerjanya siang malam hanya menyanyi di tempatnya ia tidur. Cape ia menyanyi sambil baring, ia bangun duduk dan menyanyi dimuka jendela dekat tempat tidurnya, karena ia tidak bisa turun di tanah untuk pergi jalan-jalan seperti orang lain, jadi terpaksa selalu dalam rumah dan kalau ia rasa mau buang air besar, maka ia buang airlah di lobang lantai (rumah panggung) dekat tempat tidurnya.

Dikolong rumahnya dibuatkan lobang yang agak besar oleh keluarganya, untuk menampung kotorannya. Begitulah kehidupan wade Kokanda setiap harinya kalau ia cape menyanyi ia menangis, menangis karena sakit lukanya, dan juga ia ingat-ingat dirinya bagaimana nanti pada akhimya, maka dalam keadaan demikian, ia jatuh tidur atau berbicara sendiri ”Kasihan saya ini, apa sebab saya harus menderita begini, ”sambil berjatuhan air mata, setelah ia bersungut demikian rupa, maka menangislah ia dengan perasaan yang sangat sedih dan hina, baik siang maupun malam. Setelah ia di dengar menangis, sanak keluarga yang memang tinggal berdekatan rumah, pergi menengok serta ditanya mengapa, jawaban selalu: sakit lukanya, padahal bukan saja karena sakit lukanya, tetapi juga ia merasa sedih, karena mengingat-ingat keadaan dirinya. Pada suatu waktu, malam jum’at, wade Kokanda tiba-tiba mimpi didatangi jin. Setibanya jin ini berkata kepada wade Kokanda: ”kamu ini saya tahu apa yang menjadi kesusahan hatimu; semua keluargamu tidak ada lagi yang suka padamu; semuanya sudah benci padamu, karena lukamu yang busuk ini; tetapi tidak usah kamu bersusah; nanti saya ajarkan kamu sebuah do’a kalau kamu tahu do’a saya ini, pada saat kamu akan menjadi, buaya, kalau-kalau kamu didarat kamu menjadi orang, dan kalau kamu kembali di sungai kamu jadi buaya, jadi kamu tidak ada kubur.

Mendengar bicaranya ini jin, wade Kokanda menjawab: ”Terimakasih jin, kalau saya tahu do’amu itu; ajarkan saya, sungguh-sungguh saya mau. "Setelah jin mendengar kemauan wade Kokanda, maka mulailah jin itu mengajarkan do’a pada wade Kokanda sebagaimana dijelaskan jin itu sebelumnya, dan setelah itu jin tadi menghilang dalam sekejap mata. Wade Kokanda kaget dalam tidurnya, langsung ia terbangun dan kebetulan sudah hampir pagi sehingga wade kokanda tidak tidur lagi. Pada pagi hari itu, wade kokanda terus menyanyi sekeras suaranya. Pada saat keluarganya tiba membawakan makanan dan air seperti biasanya, maka mereka tanya pada wade kokanda mengapa baru pagi itu juga ia menyanyi begitu keras suaranya. Wade Kokanda menjawab, bahwa ada yang menggembirakan padanya, tetapi ia tidak mau beri tahu apa yang menggembirakan dia itu Hanya wade kokanda bicara: ”saya ini sudah hampir mati; dan semua orang yang benci sama saya selama saya hidup, mereka akan rasakan pada saat saya mati; ingatlah kata-kata saya ini, dan kenyataannya.”

Mendengar kata-kata wade Kokanda ini, semua keluarganya heran, bahkan sampai-sampai tersiar dalam seluruh kampung wasolangka. Semua yang mendengar kata-kata wade Kokanda ini pada heran, apa yang dimaksudkan wade kokanda dengan kata-katanya itu. Jadi orang-orang dalam kampung wasolangka pada menunggu matinya wade kokanda, bagaimana nanti dengan bukti kata-katanya itu. Tidak berapa lama sesudah itu, lalu wade kokanda meninggal dunia, karena lukanya itu maka sibuklah keluarga wade kokanda dan semua orang dalam kampung wasolangka mengurus segala sesuatunya dalam hubungannya dengan kematiannya, memanggil pegawai mesjid, ada yang pergi ambil air untuk memandikan mayat, ada juga masak untuk makanan orang dan lain-lain. 

Padahal sementara orang-orang sibuk, tiba-tiba mayat wade kokanda menghilang dalam kamar tidurnya sendiri dimana ia mati, dan pada saat itu memang tidak ada orang yang mendampingi mayatnya. Jadi kesibukan saat itu beralih menjadi keheran-haranan atas hilangnya mayat wade kokanda tersebut. Pada saat itu orang-orang pada berbisik-bisikan mengenai kata-kata wade kokanda pada saat sebelum mati, mungkin inilah isi kata-kata dari wade kokanda tersebut yaitu hilangnya mayatnya ini.

Sejenak semua orang yang berdatangan karena kematian wade kokanda tersebut diam sambil tunduk, lalu kemudian masing-masing pulang, karena apa yang mau diurus, sedang mayat sudah hilang. Keluarga wade kokanda waktu itu terpaksa hanya melaksanakan peringatan tiga hari nya dan tujuh harinya walaupun wade kokanda tidak ada kubur. Setelah pelaksanaan peringatan tujuh malamnya besok sorenya keluarga wade kokanda dan orang-orang lain terus melihat wade kokanda jalan-jalan dipinggir sungai di wasalangka dekat bekas rumah tempat tinggalnya sewaktu hidupnya. Lalu saudara-saudaranya bersama-sama orang-orang kampung pergi mendekati wade kokanda, padahal wade kokanda terus buang diri dalam sungai dan tidak kembali lagi, walaupun ditunggu begitu lama. 

Maka dalam kampung hampir setiap saat membicarakan tentang kematian wade kokanda tersebut. Empat puluh hari setelah matinya wade kokanda, mulailah orang diizinkan membuat keramaian dalam kampung; antara lain di rumah salah seorang dalam kampung diadakan pesta kantola (nyanyi-nyi pantun berpantuan antara pria dan wanita) sebagai salah satu hajat.

Demikianlah pesta kantola ini diadakan. Sementara pesta berjalan tiba-tiba terus muncul wade kokanda diantara wanita-wanita yang sedang berpantun, tetapi tidak ada yang berani mengajak bicara padanya, tidak lama kemudian wade kokanda ini minta izin pergi buang air di sungai. Lalu diantar oleh kakak laki-lakinya sendiri dan satu laki-laki lain. Tidak lama mereka pergi, tiba-tiba dua orang yang mengantar tadi berteriak. Berlarilah orang-orang pergi menyusul. Sampai di pinggir sungai tidak ada kelihatan seorang pun hanya seekor buaya besar dalam sungai. Lalu tiba-tiba buaya ini berkata: ’Tidak usah kamu orang cari laki-laki yang antar saya tadi; mereka-mereka inilah diantara orang-orang yang benci pada saya sewaktu saya hidup; inilah buktinya kata-kata saya disaat-saat mendekati saya mati; sekarang mereka itu rasakan; saya inilah Wade Kokanda yang busuk luka.

Setelah itu tidak ada lagi yang berani mandi malam di sungai Wasolangka, dan menurut ceritera, wade Kokanda inilah asal usul buaya di Muna.

Asal usul Buaya
Asal usul Buaya

No comments:

Post a Comment