Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara : Dewi Padi

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA 
Di Kota Kendari

DEWI PADI


Pada zaman dahulu di suatu tempat, ada suatu kejadian yang ditandai dengan datangnya orang-orang Tenggera tinggal di negeri tersebut yang lokasinya baik sekali untuk dijadikan tempat perkampungan dan perladangan, lagi pula pemandangannya indah. Keindahan negeri tersebut justru karena letaknya yang diapit lereng pegunungan. Lembah yang luas itu ”Wakuro” namanya.

Datangnya orang-orang Tenggera itu tidak dengan tangan hampa, tetapi mereka datang dengan membawa padi. Padi yang mereka bawa itu disimpan pada suatu tempat yang dinamakan ’’Ponggawoa Wula.” Disana, di lembah ’’Wakuro” baik sekali pemandangan alamnya, karena banyak sungai-sungai yang mengalir melalui lembah tersebut, lagi pula jernih airnya. Sungai-sungai tersebut dinamakan orang sekitar ’’Linombaebiu.”

Di lembah Wakuro inilah tempat perkampungan dan perladangan orang-orang Tenggera terutama bertanam padi untuk makanan mereka. Padi yang mereka tanam itu tumbuhnya subur, sehingga hasilnya sangat memuaskan. Tiap tahun orang-orang Tenggera memperoleh padi hasil panen mereka yang berlimpah-limpah. Lumbung padi mereka penuh sesak, bahkan banyak pula padi mereka yang tidak tertampung dalam lumbung, sehingga pada akhirnya padi-padi tersebut dibuang saja.
Tubuh orang-orang Tenggera bengkak-bengkak dipenuhi kudis yang bernanah dan setelah kudis itu pecah menjadilah prambusia, kemudian mereka itu menjelma menjadi Dewi Padi. Mereka itu dinamakan Anawai atau Anawaindokudiho. Badan mereka kecil-kecil, sehingga karena kecilnya maka 7 orang Ana-wai yang duduk pada sebuah anak lesung, masih ada tempat yang berlebih.
Oleh karena orang-orang Tenggera tidak mampu lagi bahkan sudah bosan dengan penyakit seperti itu (kudis dan prambusia) selama itu, maka mereka sepakati untuk menjatuhkan ke sungai ’’Ponggawoa Wula” mereka, karena dengan Pongga¬woa Wula mereka, itulah yang menyebabkan mereka menjadi Dewi Sri dan mengakibatkan mereka pula memperoleh padi yang banyak pada setiap tahunnya.

Lalu mereka menjatuhkan ke sungai Ponggawoa Wula. Pertama kali mereka jatuhkan di sungai, nampaknya berkilauan seperti bunga api pada pergesekan kilat, bahkan menyala seperti api. Dan pada ketika itu keluar beberapa potong puntung kayu api di dalam bakul, terus mereka keluarkan kembali dari bakul kemudian dilemparkan kembali. Dimana puntung kayu tersebut jatuh tumbuhlah kembali padi itu sehingga peristiwa ini menyebabkan orang-orang Tenggera tidak dapat menyelesaikan penuaian padi karena banyaknya.

Kedua kalinya mereka jatuhkan timbul sekam padi, terus pula mereka ambil dan melemparkan kembali, juga tempat jatuhnya sekam tersebut tumbuhlah pula padi dengan amat suburnya, sehingga menyebabkan padi itu lapuk karena tidak dapat mereka selesaikan lagi penuaiannya.
Ketiga kalinya mereka jatuhkan keluar pulalah tangki padi lalu mereka ambil dan melemparkan kembali, ternyata di¬mana tangkai tersebut jatuh di situlah pula tempat tumbuhnya padi-padi itu dengan suburnya, sehingga akhimya juga menyebabkan pula padi mereka itu tidak terselesaikan dituai.

Pada saat itu berputus asalah orang-orang Tenggera dari usahanya, sehingga terakhir terpaksa mereka jatuhkan Ponggawoa Wula tersebut ke sungai Linomoio dan ketika itu menangislah tersedu-sedu Ponggawoa Wula tersebut, kemu¬dian padi-padi dalam lumbung itu mulai terbang, sehingga ada yang tersangkut pada bermacam-macam kayu yang menye¬babkan adanya nama padi yang bermacam-macam pula, seperti padi yang kita tanam sekarang ini.

Dewi Padi
Dewi Padi 

Kemudian sesudah peristiwa itu terjadi, Dewi Sri (padi) tersebut muncul di Baru sekarang ini.

No comments:

Post a Comment