Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara : OHEO (Part 1)

CERITA RAKYAT DAERAH SULAWESI TENGGARA
Di Kota Kendari

OHEO

(Kisah seorang laki-laki jejaka benama oheo penghuni bumi ini kawin dengan salah seorang dari 7 bidadari dari kayangan). (Part 1)

Pada suatu waktu Oheo berniat hendak membuka perkebunan tebu. Pada saat itu juga ia pergi menebas sebidang tanah hutan. letelah itu ia merombak keseluruhannya. Tiba saatnya untuk selanjutnya dibakarnya dan seterusnya dibersihkan secara keseluruhan. Secara berturut-turut dipagarinya, ditanaminya dan senantiasalah ia menyiangi dan memeliharanya. Selama ia tinggal di tempat itu ia sering mendengarkan hiruk-pikuk suara burung nuri tatkala burung-burung itu turun pada sebuah sungai untuk nandi-mandi. Setiap kali burung-burung itu selesai mandi, pada saat itu juga Oheo mendapatkan ampas tebu bekas dimakan oleh burung nuri itu. Ia rupanya telah kehabisan akal, memikirkan peristiwa ini, katanya, ”Akan sia-sialah tenaganya apabila tebunya itu dihabiskan oleh burung nuri itu.

Pada suatu waktu dengan tiba-tiba ia mendengarkan suara keributan di sungai. Bangunlah ia dari pembaringannya, lalu turun dari rumah dan berjalan perlahan-lahan menuju ke sungai. Nampaklah olehnya 7 orang putri dari kayangan yang sedang turun mandi-mandi. Selain mereka ia juga melihat sarunggangguluri sedang berjejer (sejenis topeng pakaian terbang) pada pinggir sungai itu. Dengan merangkak ia datang perlahan-lahan mengambil salah satu dari 7 pakaian kepunyaan putri dari ka-yangan yang bungsu lalu ia kembali ke rumahnya dan menyelipkannya pada lobang ujung kasau bambu. Setelah ia selesai menyembunyikan pakaian terbang itu ia kembali ke sungai. Dengan tergopoh-gopoh mereka mengambil pakaian terbang mereka masing-masing lalu mengenakannya dan terus terbang, yang terbungsulah ternyata sudah tidak ada lagi sarungganya. Ia bertanya kepada Oheo kalau-kalau dia yang menyembunyikannya. Oheo menjawab, ”Saya tidak menyembunyikan.” ’’Kasihanilah padaku Oheo, kembalikanlah sarunggaku itu, mereka sudah meninggalkan saya,” kata Anawai ngguluri putri yang bungsu itu. Tetapi kawan-kawannya sudah lama dan telah jauh mereka meninggalkannya. Dia sudah tidak melihat mereka lagi. Oheo berkata, ’’Saya bersedia mengembalikanmu asal kau bersedia menjadi istriku.” Anawaingguluri berkata, ’’Baiklah saya terima, asalkan engkau bersedia mengembalikan sarungga-ngguluri saya. Dan juga kita mengadakan perjanjian. Kalau kita sudah kawin dan mempunyai anak, saya tidak akan mencuci kotoran anak kita itu, engkaulah yang akan membersihkannya.” Oheo berkata, ’’Saya terima usulmu. Sayalah yang akan mencuci dan membersihkan kotoran anak kita nanti. Kemudian dia memberikan destarnya kepada putri itu untuk dipakainya sebagai pengganti kain sarung, lalu diajaknya pulang.

Mulailah mereka itu memasuki hidup baru sebagai suami istri. Tidak lama kemudian istrinya mulai mengidam dan pada akhirnya dia melahirkan seorang anak. Bilamana bayi itu buang air besar, Oheolah yang membersihkan kotorannya. Sejak anaknya lahir sampai pandai berjalan, Oheo tidak melalaikan tugasnya.

Pada suatu hari Oheo pergi meramu daun rumbia untuk dibuatnya atap. Sementara dia sibuk membuat atap di bawah kolong rumah, anak mereka itu buang air besar. Anawaingguluri berkata, ’’Oheo, naik dahulu ke rumah untuk membersihkan kotoran anak kita, ia telah buang air besar.”
’’Oheo berkata, tunggu dulu , saya menyelesaikan atapku.” Anawaingguluri berkata lagi, ’’Naiklah dahulu, bersihkan kotoran anak itu, sudah kering kotorannya.”

Oheo berkata, ’’Cebok jugalah engkau anak itu, mengapakah harus selalu saya yang cebok anak itu.”
Sekali lagi Anawaingguluri itu berkata, ”Oheo, apakah engkau masih ingat janji kita pada waktu kita akan kawin?” Oheo menjawab, ’’Yang sudah lalu, jangan diingat-ingat lagi, ceboklah juga dahulu anakmu itu.” Berkatalah Anawaingguluri, ’’Baiklah saya akan mencebok anak kita, tetapi jangan engkau menyesal nanti di kemudian hari.” Oheo kembali menjawab, ’’Biarlah saya menyesal di kemudian hari, ceboklah anakmu itu.”

Anawaingguluri itu pergi mengambil air di cerek lalu mencebok anaknya sambil berlinang-linang air matanya. Setelah ia selesai mencebok anaknya lalu berdiri di muka jendela sambil melepaskan pandangannya sedih dan hancur luluh hatinya mengenangkan kembali janji mereka sebelum kawin. Sementara dia berdiri di depan jendela itu, tiba-tiba terlihat olehnya ujung kasau bambu yang tersumbat rapat-rapat. Lalu dicabutnya sumbat kasau bambu itu, maka terlihatlah olehnya sarungga-ngguluri itu sedang terselip di dalamnya. Lalu diambilnya dan dikenakannya kembali, tetapi tidak cocok lagi baginya. Lalu diminyakinya, setelah selesai diminyakinya, lalu direntangkannya. Setelah direntangkan, lalu dikenakannya kembali, maka cocoklah seperti semula. Sesudah dia mengenakan sarung-nggulurinya itu, dia kembali memanggil suaminya, katanya, ”Oheo, naiklah terima anakmu, saya akan pulang kembali ke kayangan.”

No comments:

Post a Comment